Rabu, 24 Maret 2010

Menyelamatkan Kawasan Surabaya Barat

Oleh : Binsar M. Gultom

KEBERLANGSUNGAN pengembangan dan penataan ruang kota di Surabaya harus diantisipasi. Sebab, pesatnya pertumbuhan ekonomi di kota ini ternyata menyisakan permasalahan seputar daya dukung ruang kota terhadap kebutuhan warganya yang terus meningkat. Apa yang harus kita lakukan? Pada 2010, pertanyaan ini perlu diprioritaskan dijawab sesegera mungkin.


Namun, sebelum menjawab pertanyaan tersebut, tidak ada salahnya mengetahui kepadatan hunian ruang-ruang perkotaan di Surabaya, sehingga bisa menentukan secara tepat solusi yang harus diambil. Selain itu, langkah ini harus dipahami secara integratif. Artinya, perkembangan kota tidak bisa lagi direkayasa secara parsial.

Sudah cukup banyak pengalaman yang bisa kita jadikan pelajaran, terutama menyangkut sistematika berpikir Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang terkesan lebih membanggakan hasil-hasil pembangunan sarana fisik semata. Tentu, hal ini bisa dianggap sebagai kekeliruan jika pembangunan sarana fisik itu tidak diimbangi pemerataan akses terhadap semua warga kota. Penulis melihat, belum semua kawasan kota diperlakukan sama.

Pembangunan berbagai sarana fisik yang diklaim sebagai kesuksesan pemkot lebih terkonsentrasi di pusat kota. Kawasan pusat kota mendapat prioritas penanganan karena dianggap sebagai penopang roda perekonomian Surabaya. Tak heran, wacana yang mendominasi perbincangan tentang kota ini adalah masalah-masalah seputar pencegahan banjir dan kemacetan lalu lintas yang bias kepentingan kawasan pusat kota.

Ruang-ruang di kawasan pusat kota sangat bernilai ekonomi tinggi. Kepadatannya pun sudah melebihi ambang batas. Akibatnya, mau-tidak mau, anggaran publik harus lebih dialokasikan ke kawasan pusat kota untuk menyelamatkan kepentingan kota yang dianggap paling besar. Namun, pola perkembangan yang memusat tersebut sekarang harus disadari menjadi suatu kekeliruan.

Apalagi, untuk mengembangkan Surabaya, ruang-ruang kosong yang masih tersisa hanya terletak di kawasan barat Surabaya. Pengembangan ke arah utara sudah tidak memungkinkan. Begitu pula kawasan timur yang selama beberapa dekade sebelum 1990-an lebih diwarnai oleh pembangunan berbagai unit perumahan. Di selatan, ruang-ruang kosong sudah sangat sulit kita temukan.

Benteng Terakhir

Tulisan ini ingin mengingatkan kepada para pengambil keputusan di Kota Surabaya bahwa kawasan barat Surabaya adalah benteng terakhir penataan ruang kota. Surabaya Barat harus diselamatkan berdasar tata ruang yang taat pada prinsip-prinsip penciptaan lingkungan hidup berkelanjutan. Karena itu, program-program investasi di kawasan tersebut mutlak dikenai kewajiban ecoinvestment.

Ecoinvestment dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya fenomena eksternalitas produsen-konsumen. Dalam kajian ekonomi-publik, eksternalitas produsen-konsumen ini didefinisikan sebagai aktivitas ekonomi produsen yang berdampak negatif terhadap konsumen maupun masyarakat. Biaya sosial dan lingkungan yang muncul seiring dampak negatif tersebut kerap dialihkan sebagai tanggung jawab publik atau konsumen.

Akibatnya, yang mendapat keuntungan atas pengembangan suatu wilayah adalah para investor. Kabar buruknya, investor tidak harus bertanggung jawab atas permasalahan sosial-lingkungan yang muncul sebagai dampak investasinya. Mereka merasa telah memenuhi kewajiban hanya dengan membayar pajak yang dipersyaratkan negara. Padahal, dana yang didapat dari pungutan-pungutan tersebut tidak mampu mengembalikan fungsi lingkungan.

Untuk menanggulangi itu, prinsip ketaatan terhadap penyelamatan ekologi harus dikenakan terhadap semua investor. Inilah konsep ecoinvestment yang oleh pemerintah di banyak kota besar di dunia sudah diterapkan. Sebab, pengabaian persyaratan ecoinvestment ini sering menjadi pintu masuk terjadinya eksternalitas produsen-konsumen. Gejala tersebut sebenarnya sudah bisa kita rasakan karena berbagai proyek investasi yang merambah ruang-ruang kosong di kawasan barat Surabaya.

Contoh aktual yang bisa kita sebut adalah rencana pembangunan delapan waduk di kawasan barat Surabaya. Secara keseluruhan, dana yang akan digunakan untuk membangun waduk-waduk tersebut merupakan dana pemkot. Bahkan, pemerintah pusat diharapkan memberi bantuan keuangan karena minimnya anggaran pemkot. Namun, tidak cukup sekadar biaya, tanah yang bakal dipakai sebagai waduk kebanyakan adalah lahan bekas tanah kas desa (Metropolis, 1 Januari 2010).

Padahal, tanah-tanah yang sekarang menjadi lokasi berbagai perumahan mewah di kawasan barat Surabaya itu dulu menjadi kawasan resapan air. Di lokasi perumahan-perumahan itu juga banyak waduk yang sekarang tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Itu sungguh menyedihkan. Guna mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah dan warga desa terpaksa turun tangan dan merelakan tanahnya. Tidakkah itu bentuk-bentuk investasi yang memiliki watak eksternalitas produsen-konsumen?

Di samping itu, kondisi pantai barat Surabaya (pabaraya) tidak seberuntung pantai timur Surabaya (pamurbaya). Kawasan pabaraya yang membentang di sepanjang Jalan Kalianak, Greges, hingga Romo Kalisari juga memprihatinkan. Kondisi jalan-jalan itu kerap tergenang air, terutama saat hujan turun. Penyebabnya adalah kerusakan pabaraya karena pencemaran yang mengakibatkan tanaman mangrove tidak bisa tumbuh (Metropolis, 31 Desember 2009).

Lagi-lagi, yang harus bertanggung jawab atas nasib pabaraya adalah pemerintah dan para nelayan yang hidup di daerah itu. Industri-industri dan unit-unit pergudangan di sepanjang Jalan Kalianak, Greges, serta Romo Kalisari seperti tidak merasa terganggu oleh terancamnya kelestarian kawasan pabaraya. Karena itu, inilah saatnya kita harus berani bersikap tegas agar pemilik industri dan pergudangan tersebut turut bertanggung jawab.

Sesungguhnya, dengan terpeliharanya kelestarian pabaraya, saat pasang, air laut bisa terjaga untuk tidak mengalir ke daratan. Yang paling diuntungkan adalah para pengusaha itu. Kalau mereka tidak mau ikut bertanggung jawab, sudah tentu bisa kita simpulkan sebagai pengusaha yang bersiasat dengan cara eksternalitas produsen-konsumen. Terutama, industri-industri yang mencemarkan pabaraya.

Sadarkah Pemkot Surabaya atas pemikiran-pemikiran tersebut? Akankah masa depan kawasan Surabaya Barat sama dengan kawasan-kawasan Surabaya lainnya? Ingat, Surabaya Barat adalah benteng terakhir. Wahai pemimpin kota ini, jangan biarkan benteng terakhir itu jebol! (mik)

BINSAR M. GULTOM, peneliti perkotaan Liga Berpikir Bebas (LBB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar