Jumat, 14 September 2012

Rumus Musim Semi


“Aku menyerah…,” tatapanku lesu namun tidak dengan irama sepatu yang kian cepat saja meninggalkan ceruk-ceruk pada tanah basah di bawah kami.


Seseorang berjalan lebih cepat mendahului kami berdua.


“Kamu tidak boleh seperti itu, Zia…” Setelah melihat orang tadi, Safira langsung menggenggam tanganku dan mempercepat langkah lagi. Aku mengikuti irama kakinya. Kulihat jam di tanganku.


“Masih ingat kan apa yang aku katakan dua hari lalu?” Matanya lekat menatapku dan aku memang harus menjawab pertanyaan itu.


Aku mengangguk lesu. “Tapi rasanya sulit sekali, Fir.” Gelenganku mengikuti kemudian.Kami menyeberang. Hampir saja sebuah motor matic menyerempet. Di depan sudah ada gerbang kampus. Kami bergegas. Takut kalau-kalau Pak Wijayanto sudah berada di kelas menjelaskan tentang Teorema Limit. Teorema yang baru aku sadari betapa sesungguhnya tak sesederhana saat aku masih SMA. Ya, kupikir aku tidak akan bertemu lagi dengannya di semester lima ini. Tetapi sungguh yang kualami sekarang nyatanya adalah invers dari apa yang aku pikirkan. Pengembangan teorinya justru jauh lebih kompleks dari yang sudah-sudah.